Selasa, 11 Oktober 2011


Alkisah seorang prajurit akhirnya berhasil kembali ke Jawa seusai perang Timor Timur. Ia menelepon kedua orangtuanya dari Surabaya.

“Ayah dan ibu, aku pulang, tapi ada satu hal yang ingin kumohonkan. Saya ingin membawa seorang teman bersamaku.”
”Tentu....,” jawab orangtuanya, ”kami akan senang menjumpainya.”

”Tapi ada yang perlu ayah ibu ketahui,” kata sang putra meneruskan.
”Ia terluka cukup parah ketika bertempur. Ia menginjakkan kakinya di atas ranjau darat, dan kehilangan satu kaki dan tangannya. Kini, ia tak tahu harus kemana, maka saya ingin membawanya bersamaku dan hidup bersama kita.”

”Saya sungguh menyesal mendengarnya, Nak. Barangkali kita bisa menolong menemukan tempat lain baginya untuk menghabiskan sisa hidupnya.”
”Tidak, ayah dan ibu, saya ingin ia hidup bersama kita.”
”Anakku,” kata si ayah lagi, ”kamu tidak mengerti permintaanmu sendiri. Seseorang dengan cacat begitu cuma akan menyusahkan hidup kita. Hidup kita sendiri pun harus kita urusi, kita tidak boleh membiarkan hal seperti itu mengganggu ketenangan hidup kita. Saya pikir sebaiknya kau langsung pulang saja, lupakan anak itu. Biarlah ia menemukan cara hidupnya sendiri.”

Seketika itu si anak meletakkan gagang telepon. Orangtuanya tak lagi mendengar kabar berita darinya. Namun, beberapa hari kemudian, mereka menerima telepon lain dari polisi Surabaya. Ia dikabari: anak mereka tewas terjatuh dari gedung bertingkat. Sang polisi meyakini itu akibat tindak bunuh diri.

Sepasang orangtua yang berduka itu langsung terbang menuju Surabaya, dan diantar ke kamar jenazah untuk mengidentifikasi jasad anaknya.
Mereka dengan jelas mengenali putranya. Tapi betapa terkejutnya mereka, jasad putra mereka adalah seorang pemuda dengan hanya sebelah tangan dan kaki.

0 komentar:

Posting Komentar