Kamis, 19 April 2018

Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba balap mobil mainan. Suasana sungguh meriah siang itu. Sebab, ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab memang begitulah peraturannya.

Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.

Yah, memang mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya. Tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab mobil itu buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaran mobil balap mainan segera dimulai. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil dengan 4 “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.

Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, “Ya, aku siap!”.

Dor. Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itupun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.
“Ayo…ayo…cepat, maju…maju…”, begitu teriak mereka.

Ahhaa..sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan, Mark lah pemenangnya. Ya, semuanya senang. Begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit dalam hati, “Terima kasih”.

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya,
“Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?”.

Mark terdiam.
“Bukan Pak, bukan itu yang aku panjatkan, kata Mark.
Ia lalu melanjutkan,
“Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongmu mengalahkan orang lain. Aku hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis jika aku kalah”.
Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk tangan yang memenuhi ruangan.

0 komentar:

Posting Komentar