Suatu ketika di sore hari yang terasa teduh, tampak seorang pertapa
muda sedang bermeditasi di bawah pohon, tidak jauh dari tepi sungai. Saat
sedang berkonsentrasi memusatkan pikiran, tiba-tiba perhatian pertapa itu
terpecah kala mendengarkan gemericik air yang terdengar tidak beraturan.
Perlahan-lahan, ia kemudian membuka matanya. Pertapa itu segera melihat
ke arah tepi sungai di mana sumber suara tadi berasal. Ternyata, di sana tampak
seekor kepiting yang sedang berusaha keras mengerahkan seluruh kemampuannya
untuk meraih tepian sungai sehingga tidak hanyut oleh arus sungai yang deras.
Melihat hal itu, sang pertapa merasa kasihan. Karena itu, ia segera
mengulurkan tangannya ke arah kepiting untuk membantunya. Melihat tangan
terjulur, dengan sigap kepiting menjepit jari si pertapa muda. Meskipun jarinya
terluka karena jepitan capit kepiting, tetapi hati pertapa itu puas karena bisa
menyelamatkan si kepiting.
Kemudian, dia pun melanjutkan kembali pertapaannya. Belum lama bersila
dan mulai memejamkan mata, terdengar lagi bunyi suara yang sama dari arah tepi
sungai. Ternyata kepiting tadi mengalami kejadian yang sama. Maka, si pertapa
muda kembali mengulurkan tangannya dan membiarkan jarinya dicapit oleh kepiting
demi membantunya.
Selesai membantu untuk kali kedua, ternyata kepiting terseret arus
lagi. Maka, pertapa itu menolongnya kembali sehingga jari tangannya makin
membengkak karena jepitan capit kepiting.
Melihat kejadian itu, ada seorang tua yang kemudian datang menghampiri
dan menegur si pertapa muda.
“Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hatimu yang baik.
Tetapi, mengapa demi menolong seekor kepiting engkau membiarkan capit kepiting
melukaimu hingga sobek seperti itu?”
“Pak tua, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda.
Dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih. Maka, saya tidak
mempermasalahkan jari tangan ini terluka asalkan bisa menolong nyawa makhluk
lain, walaupun itu hanya seekor kepiting,” jawab si pertapa muda dengan
kepuasan hati karena telah melatih sikap belas kasihnya dengan baik.
Mendengar jawaban si pertapa muda, kemudian orang tua itu memungut
sebuah ranting. Ia lantas mengulurkan ranting ke arah kepiting yang terlihat
kembali melawan arus sungai. Segera, si kepiting menangkap ranting itu dengan
capitnya.
“Lihat anak muda. Melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik,
tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan. Bila tujuan kita baik, yakni
untuk menolong makhluk lain, bukankah tidak harus dengan cara mengorbankan diri
sendiri. Ranting pun bisa kita manfaatkan. Betül kan?
0 komentar:
Posting Komentar